SNU|Kayong Utara Kalbar – Perubahan warna air laut yang tiba-tiba terjadi di perairan Pulau Pelapis, Desa Pelapis, Kecamatan Kepulauan Karimata, Kabupaten Kayong Utara, menimbulkan keresahan di kalangan nelayan setempat. Mereka menduga fenomena tersebut merupakan dampak dari aktivitas penggarapan hutan dan gunung di Pulau Penebang oleh perusahaan tambang, PT Darma Inti Bersama (DIB), yang tengah membangun smelter di wilayah itu.
Juanda, seorang nelayan mayang (penangkap ikan bawal) yang bermukim di Pulau Pelapis, mengungkapkan bahwa perubahan warna air laut menjadi kecokelatan terjadi sehari setelah cuaca ekstrem melanda kawasan tersebut.
“Beberapa waktu lalu ada kondisi cuaca sangat ekstrem — angin kencang dan hujan lebat. Keesokan harinya, air laut mulai berubah menjadi kecokelatan. Selama saya hidup di sini, kami belum pernah mengalami hal seperti ini,” ujarnya kepada tim media, Rabu (24/4).
Juanda menjelaskan bahwa setiap unit kapal mayang biasanya terdiri dari enam hingga delapan orang. Namun, sejak warna air berubah, hasil tangkapan mereka mengalami penurunan drastis.
“Kami kaget. Warna air menjadi coklat dan hasil tangkap kami jauh berkurang dari biasanya,” sambungnya.
Hal serupa disampaikan PN, awak kapal nelayan lainnya. Ia menegaskan bahwa fenomena tersebut tidak lazim, bahkan berbeda dengan arus musiman yang biasa mereka sebut sebagai “arus air merah”.
“Kali ini air benar-benar kecoklatan. Dugaan kami, ini akibat air bercampur tanah dari Pulau Penebang yang digarap. Apalagi sebelumnya sempat viral berita tentang aliran tanah ke laut dari aktivitas perusahaan di sana,” ungkap PN.
PN juga berharap Presiden Prabowo dapat memerintahkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Satgas Gabungan Penegakan Hukum (Gakkum) untuk turun langsung ke lokasi pembangunan smelter dan memeriksa kondisi laut saat hujan.
“Supaya bisa dilihat sendiri apakah benar air laut berubah keruh setiap hujan deras. Sekarang hasil tangkapan kami turun. Siapa yang bertanggung jawab?” tegasnya.
Yayat Darmawi, S.E., S.H., M.H., Koordinator Lembaga Tim Investigasi dan Analisis Korupsi, menanggapi persoalan ini dari sudut pandang hukum lingkungan. Melalui pesan singkat kepada wartawan, Yayat menegaskan bahwa pemerintah, khususnya Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Kalimantan Barat, harus bertindak tegas terhadap indikasi pencemaran laut tersebut.
“DLHK mesti bertanggung jawab baik secara administratif maupun normatif. Dampak pencemaran air laut memiliki efek berantai yang mengancam kelangsungan hidup dan kesehatan masyarakat serta habitat laut,” katanya.
Ia juga menjelaskan bahwa jika pencemaran tersebut terbukti dilakukan oleh perusahaan, maka perbuatan itu tergolong melawan hukum, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah diubah melalui UU Nomor 11 Tahun 2020.
“Pasal 55 KUHP memberikan landasan bagi penerapan sanksi pidana. DLHK sebagai otoritas lingkungan harus berani mengambil tindakan, baik administratif maupun hukum, terhadap pelaku pencemaran,” tutup Yayat.
Hingga berita ini ditayangkan, pihak relasi publik PT CMI Group (induk PT DIB) dan DLHK Provinsi Kalimantan Barat belum memberikan pernyataan resmi saat dikonfirmasi mengenai perubahan warna air laut di sekitar Pulau Pelapis dan Penebang. (Jono)