Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
BeritaBudayaEkonomiEntertainmentGaya hidupHeadlineLingkungan HidupRagam Daerah

Batas Pesisir yang Bergeser: EIGER Films Hadirkan “Matra Pantura” tentang Dampak Iklim

782
×

Batas Pesisir yang Bergeser: EIGER Films Hadirkan “Matra Pantura” tentang Dampak Iklim

Sebarkan artikel ini
Film ini menyoroti perjuangan dan harapan para penduduk yang hidup di garis depan perubahan iklim, khususnya di Desa Mayangan, Kecamatan Legonkulon, Subang, Jawa Barat.
Example 468x60

SNU|Subang,- EIGER Films secara resmi merilis film dokumenter terbarunya, “Matra Pantura: Dialog Perubahan Iklim di Batas Pesisir,” sebuah karya sinematik yang menggugah kesadaran akan kondisi memprihatinkan masyarakat pesisir di Pulau Jawa akibat dampak abrasi, Sabtu(28/6/2025).

Film ini menyoroti perjuangan dan harapan para penduduk yang hidup di garis depan perubahan iklim, khususnya di Desa Mayangan, Kecamatan Legonkulon, Subang, Jawa Barat.

Example 300x600

Film yang disutradarai oleh Athory Malik ini membuka tirai dengan gambaran nyata Desa Mayangan, sebuah desa yang sejak tahun 2002 hingga 2024 telah mengalami perubahan drastis.

Selama kurun waktu tersebut, garis pantai Desa Mayangan tercatat mengalami kemunduran sejauh 1,4 kilometer, menelan daratan dan mengubah lanskap kehidupan masyarakatnya.

Salah satu tokoh sentral dalam film ini adalah Abah “Ncay” Carwita, seorang warga Desa Mayangan yang telah melaut sejak kelas 3 SD.

Dengan suara bergetar namun penuh ketabahan, Abah Ncay menceritakan pengalaman pahitnya menghadapi terjangan banjir rob.

“Semakin sore banjir semakin besar menggenangi Desa Mayangan, motor-motor yang ada di desa tersebut sudah pasti terendam,” tuturnya di awal film, ia menambahkan, saat musim barat memang tidak bisa diprediksi, namun biasanya ombaknya besar.

Abah Ncay mengenang masa lalu di mana lautan masih luas dan ikan melimpah, “Sekarang kali ada di mana-mana, bahkan saat ini bukan kali tapi laut,” ujarnya prihatin.

Ia bercerita bagaimana dulu ia bisa dengan mudah mencari ikan hingga ke Indramayu karena banyaknya ikan dan luasnya pesisir.

Keberadaan tambak dan hutan mangrove di sebelah timur kala itu menjadi berkah tersendiri, “Dulu di hutan mangrove banyak ikan kakap putih, kalau tidak ada mangrove, ikannya kosong,” kata Abah Ncay, menekankan betapa vitalnya peran akar tunjang mangrove dalam melindungi ikan, kepiting, dan hewan laut lainnya, yang secara tidak langsung turut membantu kehidupan masyarakat kecil.

Ancaman abrasi tidak hanya merusak mata pencaharian, tetapi juga mengancam keselamatan, Abah Ncay mengungkapkan betapa sulitnya menghadapi banjir rob di malam hari.

“Kalau sore banjir kita bisa kabur, tapi kalau banjir tengah malam kita mau kabur ke mana,” ujarnya, disusul tawa getir, “Maunya kita bisa seperti burung, terbang saat ada banjir.”

Ia juga menyebutkan, abrasi di Desa Mayangan semakin parah pasca-Tsunami Aceh pada tahun 2004, yang menyebabkan tambak hilang dan pohon mangrove hampir punah.

Meski Desa Mayangan berdekatan dengan Pertamina Jawa I dengan kedalaman air laut 12,5 meter, aksesibilitas ke beberapa lokasi telah berubah drastis.

“Dahulu ke pulau burung mobil bisa lewat, saat ini jalan menuju ke sana sudah terendam air laut maka harus naik perahu,” kenang Abah Ncay.

Di akhir kisahnya, ia menyematkan harapan besar agar ada generasi penerus yang dapat menjaga lingkungan, “Saya harap pohon mangrove yang tua berkembang semua.”

Kolaborasi dan Harapan dari Siput Leader Wanadri

Film ini juga menampilkan upaya kolaborasi antara masyarakat lokal dan organisasi lingkungan, Dadan Sulaeman, dari Siput Leader Wanadri, didampingi Tomi Subaroh, Siput Vice Leader, mengungkapkan bagaimana Abah Ncay merangkul anak-anak muda untuk bekerja sama dengan Wanadri dalam upaya penghijauan kembali Desa Mayangan yang terabrasi.

“Sejak kecil kami sudah sering main ke hutan sambil mencari ikan untuk kita bakar dan kita makan bersama,” kenang Dadan Sulaeman dan Tomi Subaroh.

Mereka menegaskan komitmen mereka terhadap lingkungan, “Desa Mayangan memang kecil, tapi banyak memori yang terpendam, namun sekarang Desa ini sudah terkena abrasi oleh air laut,” tambah Dadan Sulaeman.

Dadan Sulaeman menjelaskan, “Siput” merupakan singkatan dari Siaga Pesisir Utara, ia mengakui, warga Desa Mayangan sering menjadi korban dampak banjir, abrasi, dan pasang surut air laut.

Mereka secara rutin melakukan patroli di antaranya ke petak 33 di Desa Mayangan untuk menanam mangrove, bahkan memberi nama pada setiap tiga pohon yang mereka tanam.

“Kalau disebut bangga saya sangat bangga, jadi kalau mau membangun Desa Mayangan lebih baik ayo bareng-bareng,” seru Dadan Sulaeman penuh semangat.

Komitmen dan Tantangan dari Wanadri

Mansyurb, Wali Mangrove ‘Field Manager Wanadri, menyampaikan pandangan yang lebih pragmatis mengenai upaya mereka, baginya, membantu Desa Mayangan adalah hal biasa, Ia merasa bahwa pencapaian Wanadri selama dua tahun di Desa Mayangan masih jauh dari sempurna.

Motivasi Wanadri, menurutnya, berasal dari hakikat dan janji organisasi itu sendiri: “Mengalamkan alam, dan memanusiakan manusia,” tegas Mansyur.

Irawan Marhadi, Wanadri Operational Director, menambahkan, kedatangan Wanadri mungkin menjadi tonggak kepedulian baru terhadap pesisir.

Ia berharap upaya ini akan terus bergulir dan menjadi gerakan masif, “Karena yang saya lihat, yang peduli dan sensitif dengan alam adalah generasi muda,” ungkap Irawan Marhadi.

Namun, Irawan juga mengungkapkan kekhawatiran yang mendalam, ia menyaksikan bagaimana masyarakat pesisir utara terdesak, bahkan tidak bisa lagi pulang ke rumah karena setengah pintu rumah mereka terendam pasir.

“Yang lebih menyeramkan bagi saya, masyarakat pesisir utara eksodus naik ke tengah Pulau Jawa, dan nantinya membuka hutan di tengah Pulau Jawa,” ujar Irawan.

Irawan juga menyoroti kompleksitas masalah ini dari sisi perencanaan tata ruang, “Saat ini tumpang tindih, rencana tata ruangnya memadai tidak, rencana jangka panjangnya bagaimana, jangka pendeknya saja kita tidak kepikiran,” ujarnya.

Irawan mengakhiri pesannya dengan ajakan untuk bertindak, “Mari mulai sekarang kita berpikir, karena masyarakat pesisir adalah saudara kita juga, mereka memilih menjadi pelaut, bukan menjadi petani,” pungkasnya.

Ancaman Abrasi yang Berlanjut

Hingga kini, abrasi masih terus berlanjut di berbagai wilayah pesisir di Pulau Jawa, termasuk Desa Mayangan, Subang, Jakarta, Rembang, Indramayu, Semarang, Demak, Jepara, Brebes, Tegal, Tuban, dan Teluk Banten.

Film “Matra Pantura: Dialog Perubahan Iklim di Batas Pesisir” menjadi pengingat bagi kita semua akan urgensi penanganan masalah ini.

Dengan film ini, EIGER Films berharap dapat mendorong dialog, memicu kepedulian, dan menginspirasi tindakan nyata untuk memperjuangkan masa depan masyarakat pesisir.

Example 120x600