SNU|Bandung,– Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, kembali menjadi sorotan tajam publik dan mendapat peringatan keras dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) atas serangkaian gurauan bernada seksis yang dilontarkannya di berbagai kesempatan. Candaan yang merendahkan perempuan ini dinilai tidak pantas keluar dari mulut seorang pejabat negara, mengingat dampaknya yang bisa memicu diskriminasi dan kekerasan seksual.
Insiden terbaru terjadi pada Rabu, (23/7/2025), saat Dedi Mulyadi mendampingi Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin meninjau penanganan kusta di Puskesmas Sirnajaya, Kabupaten Bekasi. Dalam kesempatan tersebut, pria yang akrab disapa KDM ini secara terang-terangan melontarkan candaan seksis kepada ibu-ibu penerima bantuan.
Gurauan semacam ini bukanlah kali pertama dilontarkan oleh Dedi Mulyadi. Sebelumnya, pada Selasa (17/06), ia juga sempat membuat pernyataan kontroversial di hadapan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti usai pertemuan tertutup di Kantor Kemendikdasmen, Jakarta Selatan. Melalui video yang diunggah di akun Instagram pribadinya, Dedi Mulyadi dengan entengnya berujar, “Lebih baik sekolah di usia muda daripada janda di usia muda.” Pernyataan ini secara gamblang menstereotipkan perempuan dan mengaitkan status janda dengan kegagalan hidup.
Komnas Perempuan Desak KDM Berhenti Ulangi Candaan Seksis
Menanggapi rentetan kejadian ini, Wakil Ketua Komnas Perempuan, Dahlia Madanih, dengan tegas mengimbau Dedi Mulyadi untuk menghentikan dan tidak mengulangi gurauan bernada seksis yang menyasar tubuh dan pengalaman perempuan dalam pelaksanaan tugas maupun kesehariannya sebagai pejabat negara.
“Kami mengimbau KDM untuk berhenti dan tidak mengulangi candaan dan gurauan seksis yang ditujukan pada tubuh dan pengalaman perempuan dalam pelaksanaan tugas dan kesehariannya sebagai pejabat negara,” tegas Dahlia Madanih saat dihubungi di Jakarta pada Sabtu (26/07/2025).
Dahlia menekankan pentingnya kehati-hatian dalam bertutur kata dan berperilaku bagi seorang publik figur seperti Dedi Mulyadi. Ia mengingatkan bahwa pejabat negara adalah panutan yang akan ditiru oleh masyarakat luas, termasuk anak-anak dan generasi muda. Oleh karena itu, ucapan yang merendahkan perempuan dapat meracuni pola pikir masyarakat dan melanggengkan budaya patriarki yang diskriminatif.
Humor Seksis, Bentuk Kekerasan Seksual yang Dapat Dipidanakan
Lebih lanjut, Komnas Perempuan juga mengingatkan bahwa humor seksis merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Hal ini berarti, gurauan semacam itu bukan sekadar lelucon biasa, melainkan tindakan pidana yang bisa berujung pada konsekuensi hukum.
“Warga dapat saja melaporkan para pejabat negara yang tidak menjaga moral etisnya dalam menempatkan situasi yang seharusnya memberikan rasa aman, tetapi justru dapat memberikan situasi dan stereotipe terhadap perempuan,” jelas Dahlia.
Ia menambahkan bahwa seringkali gurauan seksis dilontarkan tanpa disadari karena dianggap remeh, mengabaikan ketidaknyamanan yang ditimbulkan dari objektifikasi tubuh dan pengalaman perempuan. Hal ini terjadi karena internalisasi misogini yang kuat dalam budaya patriarki.
“Ucapan dan bahasa merupakan medium pikiran, ide, dan perasaan yang merefleksikan nilai-nilai sosial dan budaya serta pandangan seseorang. Candaan atau gurauan seksis justru dapat menjadi medium untuk memelihara pandangan-pandangan dan budaya yang diskriminatif terhadap perempuan,” pungkas Dahlia.
Peringatan keras dari Komnas Perempuan ini seharusnya menjadi alarm bagi Dedi Mulyadi dan seluruh pejabat negara lainnya untuk lebih bijak dalam bertutur kata. Ruang publik, apalagi forum resmi yang melibatkan kepentingan masyarakat, seharusnya steril dari gurauan yang merendahkan dan mendiskriminasi, terutama terhadap perempuan. Bagaimana menurut Anda, apakah peringatan ini akan membuat para pejabat negara lebih berhati-hati dalam berkomunikasi?