SNU//Kubu Raya, Kalimantan Barat – Ritual adat Dayak bertajuk Nabo Padagi Ne Antanik di Parit Ampaning, Desa Malahia, Kecamatan Kuala Mandor B Kabupaten Kubu Raya, menjadi ajang duduk bersama antara perwakilan masyarakat, tokoh adat, DPRD, dan pihak PT Bumi Pratama Khatulistiwa (BPK) untuk membahas persoalan ketenagakerjaan dan kejelasan status sertifikat hak milik (SHM) warga di area perkebunan sawit. Senin (11/8/25).
Acara yang dipimpin tokoh adat Dayak, Adrianus AT, dihadiri perwakilan DAD Kabupaten Kubu Raya, DAD Kecamatan Kuala Mandor B, OKP Bala Adat Dayak Tangkit Jenawi, organisasi Tujuh Talino, serta anggota DPRD Kabupaten Kubu Raya, Erwin Nago, SH.
Dalam sambutannya, Adrianus AT meminta agar perusahaan dan pemerintah transparan terkait masa berlaku SHM milik warga, guna mencegah sengketa lahan di kemudian hari.

“Kita ingin semua pihak terbuka agar tidak ada masalah baru yang memicu konflik di masa depan,” ujarnya.
Perwakilan PT BPK menyampaikan harapan agar masyarakat mendukung kelancaran operasional perkebunan dan menjaga stabilitas keamanan di wilayah ketemenggungan.
“Kami berharap ada kerja sama yang baik demi kelancaran dan suasana kondusif,” kata perwakilan manajemen perusahaan.
Ketua DAD Kecamatan Kuala Mandor B dalam kesempatan itu menegaskan pula, bahwa pentingnya peningkatan kualitas tenaga kerja lokal dengan mengedepankan keterampilan, pendidikan, keahlian, kemauan, dan kejujuran.
Ia juga mengapresiasi kontribusi PT BPK dalam pembangunan infrastruktur seperti jalan, penerangan, dan rumah ibadah, serta penyerapan tenaga kerja lokal.
Sementara itu, anggota DPRD Kabupaten Kubu Raya, Erwin Nago, SH, dalam penutupan acara menyampaikan bahwa perusahaan harus menyelesaikan secara tuntas persoalan SHM milik warga pemilik lahan sawit.
Erwin juga meminta PT BPK mengutamakan pekerja lokal dibandingkan tenaga kerja dari luar daerah.
“Kerja sama yang baik antara masyarakat dan perusahaan adalah kunci kemajuan bersama,” tegas Erwin.

Pertemuan adat Nabo Padagi Ne Antanik ini diakhiri dengan komitmen bersama untuk menjaga hubungan harmonis antara perusahaan, pemerintah, dan masyarakat, sekaligus menegaskan peran adat sebagai ruang mediasi damai dalam penyelesaian sengketa. (Jono)