SNU|Jakarta – Terpilihnya Kardinal Robert Francis Prevost sebagai Paus Leo XIV pada Kamis (8/5) disambut hangat oleh umat Katolik di seluruh dunia.
Bagi para pemikir keagamaan dan aktivis muda di Indonesia, momen ini menandai bukan sekadar pergantian kepemimpinan, melainkan babak baru peran Gereja dalam menjawab tantangan global.
“Pilihan nama Leo bukan kebetulan. Ini sinyal kuat bahwa Paus Leo XIV ingin melanjutkan semangat Paus Leo XIII yang dikenal memperjuangkan hak-hak buruh dan martabat manusia,” ujar DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, S.SiT., M.H., M.Mar, anggota Dewan Pakar Pengurus Pusat Pemuda Katolik, di Jakarta. Jum’at (9/5/2025).
Menurutnya, latar belakang Paus Leo XIV yang dikenal membumi, dekat dengan komunitas miskin dan termarjinalkan, menjadikannya sosok yang relevan untuk zaman ini.
“Gereja kini dituntut hadir bukan hanya sebagai pengkhotbah moralitas dari mimbar, tapi sebagai pendamping umat manusia dalam luka dan harapannya,” tambah Capt. Hakeng.
Dengan pengalaman sebagai misionaris, pemimpin ordo religius, dan warga negara Amerika Serikat, Paus Leo XIV dinilai memiliki pandangan global dan kapasitas untuk menjembatani ketegangan geopolitik melalui nilai-nilai kemanusiaan universal.
“Ia hadir ketika dunia sedang terpecah secara sosial, ekonomi, dan ekologis. Kita butuh pemimpin religius yang sekaligus profetik—berani bersuara melampaui batas institusi,” tegas Capt. Hakeng.
Suara Moral dan Agenda Global
Dalam pandangan Capt. Hakeng, tantangan Paus Leo XIV tidak hanya soal reformasi internal Gereja, melainkan juga kepemimpinan moral dalam isu-isu lintas batas seperti perubahan iklim, ketimpangan sosial, hingga dampak era digital.
“Paus Leo XIV harus menjadi pelopor transformasi moral global, bukan sekadar penjaga tradisi spiritual,” ujarnya.
Harapan Kaum Muda
Kepemimpinan baru ini juga menumbuhkan harapan dari generasi muda Katolik.
“Anak muda hari ini mendambakan Gereja yang bersahabat—yang bisa mendengar, berdialog, dan hadir dalam pencarian makna hidup mereka,” kata Capt. Hakeng.
Ia menekankan pentingnya reformasi pastoral yang kontekstual, empatik, dan membumi.
“Pendidikan iman harus membentuk kesadaran sosial dan spiritualitas yang relevan dengan realitas masa kini, bukan sekadar mengulang dogma,” tambahnya.
Relevansi Bagi Gereja Indonesia
Menurut Capt. Hakeng, Gereja Katolik di Indonesia dapat menimba inspirasi dari semangat reformis Paus Leo XIV, terutama dalam memperkuat kepemimpinan berbasis pelayanan serta keterlibatan pemuda dan perempuan dalam kehidupan gereja.
“Ini momentum bagi organisasi pemuda Katolik untuk mentransformasikan dirinya sebagai agen perubahan sosial dan promotor dialog antariman,” jelasnya.
Indonesia sebagai negara dengan keberagaman agama tinggi disebutnya sebagai ladang strategis untuk misi Paus dalam membangun solidaritas lintas iman.
“Kami berharap Paus Leo XIV mendorong terciptanya koalisi moral antaragama guna merespons isu bersama seperti radikalisme, kemiskinan, dan krisis lingkungan,” tutur Capt. Hakeng.
Menutup pernyataannya dengan nada optimis, ia menegaskan, “Kami percaya, Paus Leo XIV bukan hanya pemimpin Gereja Katolik, melainkan gembala umat manusia yang sedang mencari arah di tengah dunia yang bergejolak.” (Jono)