Example floating
Example floating
HukumInformatikaRagam Daerah

Di Era Presiden Siapa pun, Wartawan Harus Berani Bertanya Kritis

522
×

Di Era Presiden Siapa pun, Wartawan Harus Berani Bertanya Kritis

Sebarkan artikel ini

Oleh: M. Nasir 

Anggota Forum Wartawan Kebangsaan

Mantan Wartawan Harian Kompas

SNU//Kab.Bandung – Berpikir kritis itu syarat untuk menjadi wartawan yang baik.  Tanpa berpikir kritis, wartawan sulit mewartakan kebenaran yang tersembunyi. 

Untuk berani berpikir kritis, wartawan harus merasa bebas terlebih dulu. Maka di sini sebelum membahas berpikir kritis, kita perlu membahas kebebasan.

Hal itu diungkapkan oleh M. Nasir, Anggota Forum Wartawan Kebangsaan dan Mantan Wartawan Harian Kompas 

Menurut Nasir, kebebasan,  berpikir kritis, dan skeptis adalah satu rangkaian sebagai upaya mencari kebenaran. 

“Kebebasan menjadi hak asasi manusia yang paling hakiki,” katanya.

Kebebasan atau kemerdekaan secara umum di dalamnya termasuk kebebasan pers dan wartawan berpikir kritis.

“Sejauh masih bisa berpikir, pergunakanlah akal sehat bebas berpikir dengan jangkauan luas dan mendalam. Hidup macam apa, kalau berpikir saja takut,” lanjut Dia.

Untuk mengukuhkan kebebasan telah ditegaskan dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan, 

“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.” imbuh Nasir kembali.

Kebebasan atau kemerdekaan pers selanjutnya ditetapkan melalui Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.

“Dalam konsiderans UU tentang pers itu disebutkan, kemerdekaan pers diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa,” cetusnya.

Kemerdekaan pers  dalam UU Pers pada Bab II Pasal 2 disebutkan, Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.

Kemudian di bab yang sama pada pasal 4 ayat 1 dilanjutkan, Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. 

Dilanjutkan ayat 2 sebagai penegasan: Terhadap  pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. 

Pada ayat 3 pasal yang sama ditegaskan lagi, “Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi”.

Itulah kebebasan pers yang dikuatkan oleh undang-undang. Sebelumnya, kebebasan pers tidak mendapatkan perlindungan hukum. 

Mendiang Atmakusumah, pengajar Lembaga Pers Dr Soetomo dalam tulisannya (tahun 2014) menjelaskan, keadaan kebebasan pers di Indonesia pada abad 17 ada. Ketika surat kabar pertama bernama Bataviaasche Nouvelles en Politique Raisonnementen (Berita dan Penalaran Politik Batavia) yang diterbitkan di Batavia 7 Agustus 1744, kebebasan pers belum mendapatkan jaminan perlindungan hukum. 

Kebebasan berbicara dan berpendapat baik lisan maupun tulisan sudah tercantum dalam UUD 1945. Kemudian disusul undang tentang pers No. 40/1999 yang berlaku hingga sekarang.

Sementara Amerika Serikat (AS) pada 15 Desember 1791 sudah mulai menabuh gendrang kebebasan pers melalui pengesahan amandemen pertama konstitusinya. 

Kebebasan yang mendasar dalam amandemen pertama konstitusi AS itu berbunyi berbunyi:

Kongres tidak boleh  membatasi kebebasan berpendapat, atau kebebasan pers; atau hak masyarakat untuk berkumpul secara damai, dan mengajukan petisi kepada Pemerintah untuk mengatasi keluhannya.

Konstitusi yang memperkuat kebebasan pers itu disambut gembira oleh kalangan editor dan penerbit di Amerika Serikat. 

Gaungnya terdengar hingga seluruh dunia, termasuk di bumi Nusantara. Meskipun demikian, perkembangan kebebasan pers secara global hingga sekarang masih menghadapi tantangan dan hambatan.  Ini menjadi tantangan kalangan pers untuk terus memperjuangkan kemerdekaan pers. 

Kebebasan pers dapat dirasakan oleh insan pers yang berkarya di  berbagai platform media (cetak, online, radio, dan televisi) di Tanah Air kita. 

Tidak peduli negara sedang dipimpin oleh rezim presiden siapa. Undang-Undang Dasar 1945, sudah mendukungnya, diperkuat dengan undang-undang pers No 40/1999. 

Kenapa kini masih ada wartawan takut? Takut berpikir bebas, takut berpikir kritis? 

Perlu berpikir ulang menekuni profesi wartawan, kalau pikirannya masih terbelenggu oleh berbagai hal yang membuat tidak mampu berpikir kritis.

    Berpikir Kritis dan Skeptis

Berpikir kritis bertumpu pada sikap yang meragukan terhadap segala hal, menyikapi dengan skeptis terhadap teks, baik pernyataan lisan, tertulis, atau simbol-simbol yang dirancang untuk menyampaikan informasi. Sikap skeptis menjadi pangkal untuk mencari kebenaran. 

Kita ingat apa yang dikatakan oleh Rene Descartes (1596- 1650), filsuf Perancis yang menjadi bapak filsafat modern. Ia mengatakan pernyataan filosofis yang sangat terkenal hingga saat ini, “cogito, ergo sum”, aku berpikir maka aku ada, atau dalam Bahasa Inggrisnya “I think, therefore I am). 

Pernyataan filosofis itu dapat ditemukan dalam bukunya Discourse on the Method (1637), dan Principles of Philosophy (1644). 

Cogito, ergo sum, mengajarkan untuk selalu meragukan semua hal di segala bidang, dan selanjutnya berpikir secara kritis dan logis untuk mencari kebenaran melalui berbagai sisi. 

Selama informasi masih diragukan, wartawan tidak boleh menjadikannya sebagai bahan berita. Kalau masih ragu, tinggalkan (doubt, leave it). 

Wartawan dituntut mencari kebenaran informasi melalui daya pikir kritis, melihat dan menggali informasi dari berbagai sisi. Mulai dari melihat lokasi kejadian/pengamatan lapangan sampai wawancara dengan berbagai pihak yang berkompenten. 

Untuk mendapatkan informasi yang benar, wartawan harus detil dan berpikir kritis dalam melakukan wawancara.
 Wartawan selalu mengejar penjelasan sumber yang belum jelas dan masuk akal. Pertanyaan mengapa (why) harus sering diajukan sebagai pertanyaan, selain apa, kapan, di mana, siapa, bagaimana.(Apih)

Example 120x600