SNU//Kota Cimahi – Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang (PUPR) Kota Cimahi, saat ini sedang menggalakan penertiban rumah-rumah yang berdiri diatas spadan sungai yang diduga mengakibatkan banjir.
Namun hal itu, banyak warga protes terkait tebang pilihnya pihak PUPR dalam penertibannya tersebut,
“Kenapa hanya rumah warga saja yang harus dibongkar, sedangkan pabrik-pabrik yang melanggar seperti pos Satpamnya berdiri di spadan sungai tidak dilakukan teguran untuk dibongkar?,” ucap salah seorang warga yang berinisial DJ mengeluh rumah saudaranya Iing, harus dibongkar didaerah Cimindi Cimahi,
Hal itu dijelaskan oleh Kepala Bidang (Kabid) Tata Ruang, Dewi Martiati saat dikonfirmasi secondnewsupdate.co.id diruang kerjanya Selasa (22/7/2025).
Menurut Dewi, pihaknya tidak tebang pilih dalam penertiban tersebut,
“Semuanya terjadwal, dan terdaftar, sebenarnya tidak hanya warga saja yang ditertibkan, tapi industri juga masuk didalamnya,” jelas Dewi.
Hanya menurut Dewi, penertiban untuk perusahaan industri, pastinya berbeda dengan rumah warga.
“Karena di Industri ada perijinan dan sebagainya, jadi kita ngecek dulu kearah sana, dan benar-benar menyarankan kepada Industri, bangunan sendiri, untuk warga juga sama seperti itu, tapi kita menindak lanjutinya dari hasil survey, atau hasil yang sudah dilakukan, oleh pihak DPKP, dan dari DPKP itu running dari BBWS,” terang Dewi.
Jadi lanjut Dewi, semua bertahap, seperti yang sudah dilakukan pembongkaran tersebut pada dua rumah yang telah dilakukannya.
“Yang dua itu, awal bertahap dan ada 16 titik surveynya dari DPKP, dan targetnya sampai bulan Desember, jadi kita bertahap, dua rumah dulu, nanti sampai pembongkaran,” lanjut Dewi.
Harapan dari Dewi, bahwa dua rumah yang sudah dibongkar tersebut, hal tersebut menjadi efek domino untuk dapat diikuti oleh rumah yang lain yang melanggar.
“Maksudnya mereka itu, bangunan yang berdiri diatas sungai, warga harus mempunyai kesadaran sendiri, bahwa itu harus dibongkar,” tegasnya.
Jadi dengan dilakukannya penertiban oleh pihak PUPR bagian Tata Ruang sudah mulai dilakukan pembongkaran, seharusnya masyarakat yang juga melanggar, harus siap-siap untuk dibongkar pula.
“Itu terserah kepada masyarakat tersebut, membongkar sendiri, atau kita menunggu akan dilakukan pembongkaran secara paksa,” tegas Dewi.
Dewi hanya berharap kepada masyarakat yang sudah diberikan himbauan sebelumnya, mempunyai kesadaran untuk membongkarnya sendiri.
“Sadar diri untuk membongkarnya sendiri, itu yang kita harapkan, kenapa gak semua gak serentak, dan target kita dari 16 titik tersebut sampai dibulan Desember ini,” tandas Dewi.
Diakui oleh Dewi, dari 16 unit tersebut tidak hanya rumah warga saja yang harus dibongkar,
“Bahkan ada juga bangunan usaha, sedangkan untuk pabrik, awal yang di Cilember ini, akan dilakukan ditahap kedua, dan hal ini sudah dilakukan pembahasan dan rapat, ditahap kedua ini ada dua pabrik yang kita pelajari, terkait perijinannya, dan harus dilihat kearah sana dulu,” paparnya.
Dijelaskan oleh Dewi, bahwa pabrik yang benar-benar melakukan pelanggaran-pelanggaran ada satu unit Pabrik.
“Yang satu lagi pabrik, masih kita pelajari, dan kita masih menunggu SK penetapan sanksi pembongkaran, kalau sudah ada SK Penetapan sanksinya, kita akan bahas tim teknisnya, dengan tim yang terlibat, melibatkan siapa dan sebagainya,” terang Dia.
Jadi tim teknis tersebut harus menghitung kontruksi yang dibongkarnya seperti apa? Metode dan sebagainya.
Begitupula Dewi saat disinggung terkait keresahan warga dalam pembongkarannya membutuhkan biaya pembongkaran, menurut Dewi hal tersebut merupakan suatu resiko bagi pemilik bangunan yang melanggar.
“Mungkin itu menjadi suatu resiko membangun diatas spadan sungai, kalau misalnya mereka tidak bisa membongkar sendiri, maka kita akan bongkarkan, dengan cara upaya paksa dan kita akan bekerjasama dengan Satpol-PP dan Damkar,” pungkas Dewi. (Bagdja)