SNU//Melawi Kalbar – Pernyataan kontroversial di grup WhatsApp Suara Rakyat Melawi (SRM) memantik protes keras dari kalangan jurnalis.
Komentar yang berbunyi: ‘Jangan asal buat berita wartawan. Saya juga bisa bro’ dinilai melecehkan profesi wartawan dan integritas kerja jurnalistik.
Ungkapan tersebut bukan hanya menyudutkan karya jurnalistik secara sepihak, tetapi juga merendahkan seluruh proses profesional yang dijalankan dalam setiap pemberitaan dari verifikasi, wawancara, riset, hingga kepatuhan pada Kode Etik Jurnalistik dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Lilik Hidayatullah, salah seorang wartawan di grup tersebut, menyampaikan keberatannya secara terbuka:
“Tolong Bah Menyadik, jangan asal berkomentar terhadap hasil karya jurnalis. Anda boleh tidak menyukai narasumber dalam berita, itu hak Anda. Tapi saya yakin penulis tidak asal tulis. Semua berita yang dipublikasikan sudah melalui prosedur dan dilindungi Undang-Undang Pers. Jika Anda punya masalah pribadi, jangan generalisasi profesi wartawan. Mohon dipahami.” ucap Lilik tegas
Minggu, (8//6//2025)
Pernyataan ini menegaskan bahwa keberatan yang muncul bukan untuk membela individu dalam berita, melainkan demi menjaga martabat profesi jurnalis yang diakui secara resmi oleh konstitusi.
Dalam Pasal 3 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, dinyatakan bahwa pers nasional berfungsi sebagai pilar keempat demokrasi.
“Pers memiliki peran vital sebagai lembaga kontrol sosial, penyebar informasi, dan wahana komunikasi yang menjamin terpenuhinya hak publik atas informasi yang akurat dan berimbang,” lanjut Lilik.
Setiap karya jurnalistik wajib mematuhi prinsip verifikasi, berimbang, dan tidak mencederai kepentingan publik. UU Pers Pasal 8 juga menjamin bahwa pers nasional tidak dikenakan sensor atau pembredelan.
“Artinya, kritik boleh dilakukan tetapi penghinaan dan pelecehan terhadap profesi wartawan adalah tindakan yang keliru dan tidak dapat dibenarkan,” cetus Dia.
Dalam kerangka demokrasi, setiap orang memiliki hak jawab (Pasal 5 UU Pers) jika keberatan terhadap isi pemberitaan. Demikian pula dengan hak koreksi dan hak klarifikasi, yang dapat disampaikan secara profesional kepada redaksi media.
Namun, penghinaan publik terhadap profesi wartawan, apalagi di ruang digital publik seperti grup WhatsApp, bukanlah bentuk kritik konstruktif, melainkan tindakan yang melecehkan dan berpotensi menghalangi tugas jurnalistik.
“Kami, dari kalangan insan pers, menuntut agar individu yang mengeluarkan pernyataan tersebut segera memberikan klarifikasi dan permintaan maaf secara terbuka kepada seluruh wartawan, khususnya yang tergabung dalam grup SRM. Permintaan maaf bukan hanya soal etika, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan terhadap profesi wartawan yang sah dan dilindungi konstitusi,” cetus Lilik.
Ditambahkan oleh Lilik, Jika dalam waktu wajar tidak ada itikad baik, “Kami akan mempertimbangkan untuk menempuh jalur hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan,” tukasnya.
“Kami juga mengajak seluruh masyarakat untuk bijak dalam menyampaikan pendapat, terutama di ruang digital publik. Ucapan yang tidak dipikirkan dengan matang dapat menimbulkan konflik yang merusak keharmonisan sosial,” tambah Lilik.
Pers bukanlah musuh. Pers adalah mitra masyarakat untuk menjaga transparansi, akuntabilitas, dan demokrasi yang sehat.
“Kami menegaskan, Tidak boleh ada pembungkaman atau pelecehan terhadap wartawan di muka publik, baik secara langsung maupun di ruang digital seperti grup WhatsApp, media sosial, dan forum-forum publik lainnya,” lanjut Dia.
Jurnalis adalah pilar keempat demokrasi. Wartawan memiliki tugas untuk menyuarakan kebenaran, dan itu dilindungi oleh UUD 1945 dan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Mari kita saling menghormati, saling menguatkan, dan mengedepankan prinsip keadilan, keterbukaan, dan profesionalisme,” tutup Dia. (Jono)