SNU|Kota Bandung – Mantan Kepala Bidang Penegakan Perda (Gakda) pada Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol) PP Kota Cimahi Ranto Sitanggang, yang tersandung kasus dugaan korupsi masalah perizinan usaha, dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor Bandung, Jl. L.L.R.E. Martadinata No. 74-80, Bandung, Selasa (20/5/2025).
Dalam sidang tersebut, Kasus yang sedang menimpanya merupakan sebuah bentuk kriminalisasi, Ranto mengaku pihaknya merupakan korban yang bukan hanya dalam proses hukum saja, akan tetapi juga pada hukum sosial di masyarakat, lantaran istri dan anak-anaknya mendapatkan cibiran dari masyarakat akibat proses hukum tersebut.
Dalam membacakan pledoinya, (pembelaan) Ranto menyebutkan bahwa proses hukum terhadap dirinya penuh dengan rekayasa.
Menurut Kuasa hukum Ranto Sitanggang, Rizky Rizgantara menegaskan jika kliennya merasa tidak pernah melakukan semua yang dituduhkan, dan menilai tuduhan-tuduhan tersebut lemah dan tak berdasar, tidak memiliki bukti kuat yang sah menurut hukum.
“Klien kami tidak pernah memaksa, tidak pernah mengarahkan, dan tidak pernah menerima gratifikasi dari siapa pun. Tuduhan ini lemah, tidak berdasar, dan mengada-ada,” ucap Rizky.
Ditambahkan oleh Rizky, bahwa hubungan kliennya dengan para konsultan ialah murni hubungan profesional.
“Hubungan Ranto dengan konsultan adalah profesional, tidak ada paksaan dan tidak ada arahan secara eksplisit, bahka tidak ada permintaan imbalan,” ungkapnya.
Selain itu menurut, Rizky, tidak ada bukti bahwa uang itu diminta oleh Ranto.
“Kami ingatkan kembali asas ‘in dubio pro reo’ artinya dalam keraguan, terdakwa harus dibebaskan. Kami minta majelis hakim menolak seluruh tuntutan dan membebaskan klien kami demi keadilan dan nurani hukum,” sebut Dia.
Selanjutnya menurut Ranto, terdapat sejumlah ketidaksingkronan antara tahap penyelidikan dan penyidikan, hingga terasa dipaksakan.
“Pada awalnya, dalam surat penyelidikan disebutkan terdapat dugaan penyalahgunaan anggaran. Tetapi tiba-tiba dalam penyidikan berubah menjadi gratifikasi, ini jelas dipaksakan,” cetus Ranto.
Dengan kata lain, jelas Ranto, bahwa ini merupakan sebuah pesanan dari pengusaha besar (oligarki) yang terganggu lantaran pernah ia tindak secara tegas saat menegakan peraturan daerah.
Selain itu berdasarkan keterangan Ranto, dirinya membantah terkait tuduhan terhadapnya, seakan-akan Ranto memaksa pelaku usaha menggunakan jasa konsultan tertentu.
“Rekomendasi hanya diberikan jika pelaku usaha memintanya secara langsung, karena tidak memahami alur pengurusan izin. Kalaupun ada yang memberi uang, itu adalah inisiatif konsultan, saya tidak pernah meminta,” elak Ranto.
Tidak itu saja, bahkan Ranto juga menuding dalam kasus yang dalam proses tersebut, melontarkan tudingan serius pada seorang oknum Jaksa Kejaksaan Negeri Cimahi, yang meminta uang sebesar Rp 100 Juta kepada saksi Abdul Rosid.
“Saudara saksi Abdul Rosid bercerita kepada saya bahwa dia diminta Rp 100 juta oleh oknum jaksa, namun ia hanya memberikan Rp 30 juta dan uang itu diberikan langsung,” terangnya Ranto didepan majelis hakim.
Diakui oleh Ranto, dengan kasusnya yang menimpa dirinya tersebut, menjadi beban mental bagi Keluarga nya.
“Keluarga saya menjadi korban, mereka tidak salah, tapi harus menanggung rasa malu. Pengadilan adalah tempat mencari keadilan, bukan tempat untuk menghukum orang karena pesanan,” cetus Ranto. (Bagdja)