SNU|Bandung,- Aksi Bela Palestina Jilid 3 yang digelar di Jalan Braga, Bandung, pada Minggu (20/7/2025), menjadi bukti nyata komitmen masyarakat Indonesia terhadap perjuangan kemanusiaan di Palestina. Namun, di balik pesan mulia tentang keadilan dan perdamaian, aksi ini justru diwarnai kesan eksklusif yang bertolak belakang dengan semangat inklusivitas yang seharusnya dijunjung tinggi.
Deklarasi Lintas Agama dan Orasi Penuh Semangat
Aksi yang diprakarsai oleh sejumlah pengacara dan asosiasi advokat Bandung ini menghadirkan aktivis Palestina, Husein Gaza, sebagai pembicara kunci.
Dalam orasinya, Gaza menyampaikan kondisi terkini di Palestina serta apresiasinya atas dukungan Indonesia. Wakil Ketua DPRD Kota Bandung, Edwin Senjaya, juga turut menyampaikan pidato yang menegaskan kembali komitmen Indonesia terhadap kemerdekaan Palestina, mengutip pesan Presiden Sukarno dalam Konferensi Asia-Afrika (KAA) bahwa Indonesia akan terus membela Palestina hingga merdeka.
Puncak acara adalah deklarasi bersama yang ditandatangani perwakilan lintas agama, termasuk Konghucu, Hindu, Buddha, dan Kristen Protestan. Deklarasi ini menyerukan perlawanan terhadap penjajahan dan penegakan hak asasi manusia, sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa “kemerdekaan adalah hak segala bangsa.”
Long March dan Refleksi Sejarah
Usai deklarasi, peserta aksi melakukan long march dari Jalan Braga menuju Cikapundung dan kembali ke titik awal. Braga dipilih sebagai lokasi simbolis, mengingat kawasan ini menjadi saksi sejarah KAA 1955, di mana Indonesia dengan lantang menyuarakan anti-kolonialisme. Aksi ini dinilai sebagai momentum untuk melanjutkan semangat perjuangan para pendiri bangsa.
Eksklusivitas yang Mengganggu Nilai Kolektif
Namun, di balik nilai-nilai luhur yang diusung, aksi ini justru dinodai oleh sikap eksklusif penyelenggara. Banyak awak media kesulitan mendapatkan akses informasi lengkap tentang rangkaian acara.
Narasumber kunci, termasuk Husein Gaza dan tokoh agama, hanya bisa diwawancarai oleh media tertentu, sementara jurnalis lainnya tidak diberikan kesempatan yang sama.
Pertanyaan kritis muncul: Mengapa sebuah aksi yang mengusung nilai kemanusiaan dan keadilan justru membatasi informasi? Jika tujuannya adalah menyebarkan kesadaran global tentang Palestina, seharusnya keterbukaan menjadi prinsip utama. Pembatasan akses media justru berpotensi memunculkan kesan bahwa aksi ini hanya untuk kalangan tertentu, bukan gerakan kolektif yang inklusif.
Tantangan Gerakan Solidaritas ke Depan
Aksi Bela Palestina Jilid 3 patut diapresiasi sebagai bentuk konsistensi masyarakat Indonesia dalam mendukung kemerdekaan Palestina. Namun, eksklusivitas dalam penyelenggaraannya menjadi catatan penting. Gerakan solidaritas sejatinya harus transparan dan melibatkan semua pihak, termasuk media sebagai corong penyebaran informasi.
Jika ingin konsisten memperjuangkan keadilan, maka praktik gatekeeping informasi harus dihindari. Sebab, perjuangan kemanusiaan bukan hanya tentang deklarasi dan orasi, tetapi juga tentang sejauh mana pesannya dapat menyentuh kesadaran publik secara luas.