ArtikelBeritaHeadlineKesehatanRagam DaerahTeknologi

BPOM Perkuat Pengawasan Pelayanan Kefarmasian, Santosa Hospital Jadi Titik Awal

837
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia, Prof. dr. Taruna Ikrar, M.Biomed., Ph.D., memulai langkah strategis dalam pengawasan mutu pelayanan farmasi dengan mengunjungi Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) Santosa Hospital Bandung Central (SHBC). Foto: Ist

SNU|Bandung,- Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia, Prof. dr. Taruna Ikrar, M.Biomed., Ph.D., memulai langkah strategis dalam pengawasan mutu pelayanan farmasi dengan mengunjungi Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) Santosa Hospital Bandung Central (SHBC). Kunjungan ini menjadi tonggak awal dalam penerapan pengawasan langsung di lapangan untuk memastikan pelayanan kefarmasian memenuhi standar yang ditetapkan, Rabu(16/4/2025).

Dalam kunjungan tersebut, BPOM mengapresiasi sistem digitalisasi yang telah diterapkan SHBC, yang mencakup proses penulisan resep secara digital, pemilihan obat berbasis teknologi, hingga barcode tracking dalam penyerahan obat kepada pasien. Sistem ini tidak hanya meningkatkan efisiensi pelayanan, tetapi juga mengurangi risiko kesalahan manusia dan mencegah pemalsuan serta penyalahgunaan obat.

“Kami melihat langsung bagaimana sistem digital di SHBC mampu mempercepat layanan farmasi tanpa mengabaikan keamanan dan kualitas. Ini adalah contoh nyata inovasi yang patut diapresiasi dan menjadi benchmark bagi rumah sakit lain di Indonesia,” ujar Prof. Taruna Ikrar.

Selain aspek digitalisasi, BPOM juga meninjau ketatnya sistem pengamanan penyimpanan obat narkotik dan psikotropik di SHBC. Rumah sakit ini menerapkan sistem penguncian ganda, di mana akses obat hanya bisa dilakukan oleh dua apoteker secara bersamaan. Penggunaan antibiotik pun diawasi dengan ketat, dengan mayoritas hanya diberikan berdasarkan resep dokter.

Dalam data BPOM, Indonesia memiliki lebih dari 38.000 fasilitas kesehatan yang terdiri dari rumah sakit, puskesmas, dan apotek, sehingga pengawasan menjadi tugas berat namun krusial. BPOM sendiri memiliki lebih dari 6.700 pegawai yang tersebar di berbagai unit pelaksana teknis baik di pusat maupun daerah guna mendukung misi pengawasan ini.

“Kunjungan ini adalah langkah awal dari rangkaian inspeksi yang akan dilakukan BPOM. Besok, kami akan mengunjungi RS Hasan Sadikin, kemudian puskesmas, klinik, dan apotek di berbagai wilayah,” ungkap Prof. Taruna.

Selain pengawasan farmasi, BPOM juga menyoroti pentingnya kenyamanan ruang tunggu bagi pasien, mengingat kondisi mereka yang sedang dalam keadaan tidak sehat. Prof. Taruna memberikan masukan kepada pihak rumah sakit untuk menciptakan ruang tunggu yang lebih nyaman, terutama saat antrean pasien sedang tinggi.

Di sisi lain, BPOM mengapresiasi kepedulian sosial SHBC dalam menyediakan akses pengobatan radioterapi yang terjangkau bagi pasien kanker paru. Dengan jumlah kasus yang mencapai lebih dari 400 ribu per tahun dan tingkat kematian hingga 60 persen, layanan yang murah namun berkualitas di SHBC menjadi kontribusi nyata bagi masyarakat.

Menutup kunjungannya, Prof. Taruna juga menyoroti inisiatif rumah sakit dalam mendukung pengembangan teknologi bioteknologi, termasuk monoclonal antibody dan biosimilar, yang dapat mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor bahan baku obat.

“Dengan adanya transfer teknologi ini, di masa depan kita bisa memproduksi sendiri obat-obat biologis yang mahal. Ini akan berdampak besar pada akses dan keterjangkauan obat bagi masyarakat,” katanya.

Kunjungan BPOM ke SHBC diharapkan menjadi awal dari sistem pengawasan yang lebih ketat namun konstruktif, demi memastikan masyarakat mendapatkan pelayanan kefarmasian yang aman, efektif, dan berkualitas.

Exit mobile version