SNU//Pontianak Kalimanatan Barat – Pangaraga Adat Pontianak Selatan bersama unsur Ormas Bala Adat Dayak dan Dewan Adat Dayak (DAD) Kota Pontianak menyampaikan klarifikasi terbuka terkait tuduhan pemerasan dan premanisme adat yang dilontarkan oleh pihak tertentu melalui media sosial.
Menyusul laporan penganiayaan yang dilakukan oleh warga bernama Wiliam terhadap Pendi, warga keturunan Dayak asal Sabtu (28/6/2025).
Dalam konferensi pers yang digelar di Pontianak Selatan, para pemangku adat menegaskan bahwa seluruh proses yang ditempuh adalah bagian dari mekanisme hukum adat Dayak Kanayatn, dengan mengedepankan penyelesaian damai yang disebut Basaru Sumangat, dan bukan bentuk tekanan atau pemaksaan seperti yang dituduhkan.
Adapun Kronologi Peristiwa, Penganiayaan dan upaya damai yang ditolak, Peristiwa bermula pada 2 November 2024, ketika Pendi mengalami kekerasan fisik dan verbal di halaman rumahnya oleh Wiliam dan keluarganya.
Dalam insiden tersebut, sebuah helm dilemparkan ke arah ke kepala korban, pagar rumah dilompati, serta terjadi pemukulan dan pencekikan.
“Kami memiliki rekaman video dan saksi. Bahkan istri korban dihina dengan kata tidak senonoh, dan itu sudah melewati batas martabat,” kata Lukian, Pendamping Pangaraga Adat.
Upaya mediasi melalui jalur adat dimulai sejak 5 November 2024, namun berkali-kali diabaikan oleh pihak Wiliam.
Bahkan pada tanggal 15 Juni 2025, ketika sanksi adat Setahil Tangah Babi Satu Ekor dijelaskan, pihak Wiliam justru melecehkan prosesi dengan menyebut bahwa semua bisa diselesaikan dengan ‘ayam dan telur’.
Klarifikasi: Tidak ada pemerasan, hukum adat diakui Negara
Dalam pernyataan tertulis, Pangaraga menegaskan bahwa tidak pernah terjadi pemaksaan, ancaman, atau pemerasan. Seluruh proses dilakukan secara terbuka, disaksikan tokoh adat dan masyarakat.
“Tidak satu pun unsur pemerasan terpenuhi sebagaimana dimaksud Pasal 368 atau 369 KUHP. Kami menjalankan hukum adat yang dijamin Pasal 18B UUD 1945,” tegas Ulianus, tokoh adat senior.
Tuduhan premanisme adat oleh Wiliam dan beberapa simpatisannya dinilai sebagai narasi sesat dan berbahaya yang berpotensi menyesatkan publik serta melemahkan marwah hukum adat sebagai bagian sah dari sistem hukum nasional.
PANGARAGA: KEADILAN ADAT HARUS DIHORMATI, BUKAN DIPOLITISASI
Pangaraga juga menyesalkan keterlibatan pihak luar yang ikut menyebarkan narasi fitnah melalui media sosial, dan menyatakan akan menempuh jalur hukum terhadap dugaan pencemaran nama baik lembaga adat.
“Kami tidak akan membalas kebencian dengan kebencian, tapi kami punya tanggung jawab menjaga kehormatan warisan budaya kami,” ungkap Rusli, salah satu anggota Pangaraga.
Disebutkan pula bahwa Pendi, sebagai korban, memiliki garis keturunan Dayak yang sah melalui istrinya yang berasal dari Sompak, dan anaknya, Jimi, turut merasa martabat keluarganya dihina.
SERUAN UNTUK MASYARAKAT: JANGAN TERPROVOKASI, DUKUNG KEADILAN ADAT
Di akhir konferensi pers, Pangaraga menyerukan agar masyarakat tidak terpancing oleh informasi sepihak yang beredar di media sosial, dan mengajak semua pihak untuk menjaga perdamaian dan mendukung penyelesaian yang adil melalui mekanisme hukum adat yang bermartabat.
“Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata adalah prinsip hidup kami. Proses adat bukan pemerasan. Ini jalan keadilan, bukan ancaman,” tegas Lilik Nage. (Jono//98)