ArtikelBeritaEkonomiHeadlineInformatikaRagam Daerah

Indonesia Hadapi “Dekade Kritis”: Pakar Ritel Minta KBC Dorong Reformasi Daya Beli dan Penciptaan Kerja

737
Pakar ritel dan perilaku konsumen Yongky Surya Susilo.

SNU|Yogyakarta,- Indonesia memasuki masa penentuan sepuluh tahun ke depan. Pakar ritel dan perilaku konsumen Yongky Surya Susilo meminta komunitas bisnis seperti Kamajaya Business Club (KBC) yang merupakan divisi dari Keluarga Alumni Universitas Atma Jaya Yogyakarta ( KAMAJAYA), untuk berperan aktif mendorong reformasi daya beli dan penciptaan lapangan kerja di tengah melemahnya konsumsi masyarakat. Periode 2025–2035, menurutnya, akan menjadi “Dekade Kritis” yang menentukan apakah Indonesia mampu menjadi negara maju atau justru menua sebelum kaya (getting old before getting rich), Selasa(14/10/2025).

“Jendela bonus demografi akan mencapai titik balik sekitar 2030–2040. Kalau tidak dimanfaatkan untuk menaikkan produktivitas dan inovasi, pertumbuhan akan melambat,” ujar Yongky dalam forum “Beyond Tomorrow: Strategi Tetap Bertumbuh dalam Pergolakan Ekonomi dan Prediksi Perekonomian ke Depan”, yang digelar oleh Kamajaya Business Club (KBC) di Nara Kupu Yogyakarta, Sabtu (11/10).

Acara yang berlangsung pukul 13.00–18.00 WIB ini dipandu oleh Sekar Tyas Nareswari, Public Relations KBC sekaligus Founder Takon Pakar Edutainment, yang juga bertindak sebagai MC dan moderator. Dalam pengantarnya, Sekar menjelaskan bahwa forum ini dirancang untuk menjadi ruang refleksi dan sinergi antaralumni.

“Melalui Beyond Tomorrow, kita ingin menghubungkan kembali pelaku bisnis lintas generasi agar saling belajar, berkolaborasi, dan siap menjawab perubahan besar di depan,” kata Sekar yang juga merupakan Sales Mentor dan Sales Leader di Azko.

Ketua KBC Fransiscus Go, pendiri GMT Property Management dan pemilik Nara Kupu Group, menegaskan pentingnya peran alumni Atma Jaya dalam memperkuat struktur ekonomi riil. “Kita tidak bisa menunggu kebijakan pemerintah. Kelas menengah hanya bisa bertahan kalau kita berkolaborasi menciptakan peluang,” ujarnya.

Menurut Frans, lanskap bisnis 2025 sangat dinamis—dipengaruhi teknologi digital, perubahan perilaku konsumen, kebijakan pemerintah, serta tren global seperti ekonomi hijau dan ekonomi kreatif. Ia menyebut sektor-sektor yang paling prospektif meliputi UMKM digital, bisnis berbasis keberlanjutan, pendidikan digital, layanan kesehatan terpadu, hospitality & wellness lokal, F&B, fintech & microfinance, ekonomi kreatif dan karakter lokal, properti & smart living, serta AI & otomasi.

Yongky Susilo, yang juga Consumer & Retail Strategist serta Board Expert HIPPINDO, menyoroti gejala melemahnya konsumsi rumah tangga—mesin utama ekonomi Indonesia. Data FMCG kuartal II menunjukkan pertumbuhan hanya 1% secara nilai namun turun 3% secara volume, menandakan konsumen membeli lebih sedikit dan lebih jarang.
“Fenomena trading down makin nyata. Konsumen beralih ke merek lebih murah, kemasan lebih kecil, dan frekuensi belanja menurun,” jelasnya.

Ia juga menyinggung fenomena ROJALI dan ROHANA, singkatan dari rombongan hanya lihat-lihat dan rombongan hanya nanya, yang menurutnya sudah lama berlangsung di ritel Indonesia. “Mall tetap ramai, tapi daya beli tidak sekuat dulu. Banyak pengunjung hanya melihat-lihat toko tanpa belanja, lalu mengalihkan pengeluaran ke restoran. Ini sinyal bahwa struktur konsumsi bergeser dari kebutuhan barang ke pengalaman,” kata Yongky.

Yongky juga mengungkapkan hasil surveinya bahwa tabungan rumah tangga kelas menengah-bawah kini kian menipis. Data perbankan menunjukkan saldo tabungan kelompok kecil stagnan bahkan menurun dibanding sebelum pandemi, menandakan banyak keluarga hidup dari pendapatan ke pendapatan tanpa ruang menabung di tengah kenaikan biaya hidup dan inflasi pangan. Ia menilai situasi ini menggerus daya beli dan menekan pertumbuhan konsumsi.

Menurut Yongky, upaya memperkuat daya beli perlu disertai reformasi kemudahan berusaha (Ease of Doing Business). “Potong izin, sederhanakan biaya, dan hentikan ekonomi berbiaya tinggi. Pajak dan tarif baru yang membebani konsumen sebaiknya dihindari,” ujarnya. Ia menegaskan bahwa komunitas bisnis seperti KBC dapat menjadi motor kolaborasi untuk mendorong pertumbuhan sektor riil.
“Kebijakan makro penting, tapi perubahan juga harus datang dari para pelaku usaha. Komunitas seperti KBC bisa mempercepat penciptaan lapangan kerja baru,” tambahnya.

Diskusi panel yang dipandu Sekar menghadirkan dua anggota KBC: William Mahardhika Darlius, pengusaha di bidang kuliner (Yamie Panda ±20 cabang), villa (Fulton Villa), dan properti (Astana Property); serta Robertus Bellarmino Argha Nugrahanto, S.Sos., M.H., Founder Enisa dan Owner Adika Business & Legal Consultant dengan pengalaman di sektor kesehatan dan kecantikan.
William dan Argha menyoroti pentingnya inovasi menghadapi perubahan perilaku konsumen dan menyoroti trend pemakaian digital marketing dan AI.

Sekar menambahkan bahwa banyak bisnis bagus kehilangan relevansi bukan karena produknya, tapi karena gagal membaca arah perilaku konsumen. “Forum seperti ini membantu kita berpikir lebih strategis dan kolaboratif,” katanya.

Meski memaparkan berbagai kejujuran tantangan struktural, Yongky menutup sesinya dengan optimisme. “Masih ada sunshine after the storm. Tapi peluang itu bersyarat—kita harus bergerak cepat, berani berinovasi, dan memperbaiki sistem daya beli. Saya juga banyak setujunya dengan gebrakan teman saya Pak Purbaya Menteri Keuangan yang mengajak Gen Z bergerak dan mengajak untuk kaya bersama, mari kita dukung dan berikan umpan balik,” katanya.

Acara ditutup oleh Stevan Mandagi, ketua panitia, yang mengajak alumni untuk memperkuat jejaring bisnis. “Forum ini bukan sekadar wacana. Mari lihat kembali apakah bisnis kita hari ini sudah relevan dengan arah masa depan,” ujarnya.

Melalui forum Beyond Tomorrow, KBC menegaskan komitmen alumni Universitas Atma Jaya Yogyakarta untuk beradaptasi dengan perubahan global, memperkuat kolaborasi, dan menciptakan lapangan kerja baru di tengah perlambatan ekonomi nasional.

Exit mobile version