SNU|Bandung,- Asosiasi Sekretariat DPRD Provinsi Seluruh Indonesia (ASDEPSI) masa bakti 2025–2029 mengadakan rapat kerja yang dihadiri oleh para pengurus dan koordinator wilayah Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia (ADPSI). Rapat tersebut membahas berbagai agenda penting, termasuk Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) serta sejumlah isu strategis.
Beberapa isu strategis yang menjadi pembahasan antara lain menyangkut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia mengenai perpanjangan masa jabatan anggota DPRD, serta rencana revisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang memuat wacana Pilkada dilakukan oleh DPRD.
Ketua ADPSI 2025–2029, Buky Wibawa Karya Guna, menyampaikan bahwa rapat kerja kali ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas kinerja serta memperkuat solidaritas antar kelembagaan DPRD, khususnya dalam membangun komunikasi, koordinasi, dan sinergi antara DPRD provinsi se-Indonesia.
“Hal tersebut tidak lain agar keberadaan dan posisi tawar DPRD semakin signifikan dalam penyelenggaraan tata kelola pemerintahan daerah di Indonesia,” jelas Buky Wibawa, Kota Bandung, Selasa (5/8/2025).
Ia menambahkan, sebagai lembaga legislatif daerah, DPRD memiliki peran penting dalam membentuk Peraturan Daerah (Perda), fungsi anggaran, serta pengawasan. Namun, dalam pelaksanaannya, DPRD menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Beberapa isu yang menjadi sorotan saat ini antara lain reformasi kebijakan fiskal, penguatan otonomi daerah, pengentasan kemiskinan, pembangunan berkelanjutan, serta dinamika politik nasional. Oleh karena itu, DPRD dituntut untuk mampu bersikap adaptif, kolaboratif, dan responsif.
“Disinilah pentingnya peran dari ADPSI. Melalui forum ini kita tidak hanya mempererat silaturahmi, tetapi juga bertukar pikiran, menyamakan persepsi, serta mencari solusi-solusi kolektif atas berbagai permasalahan yang kita hadapi,” kata dia.
Perpanjangan Masa Jabatan Anggota DPRD dan Pilkada Langsung oleh DPRD dalam rapat tersebut, juga dibahas soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI terkait perpanjangan masa jabatan anggota DPRD. Pemaparan disampaikan oleh Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. H. Nandang Alamsyah Deliarnoor, S.H., S.AP., M.Hum. Ia menjelaskan bahwa berdasarkan putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024, terdapat peluang masa jabatan anggota DPRD diperpanjang sebagai penyesuaian terhadap jadwal Pemilu nasional dan daerah.
Terdapat dua pandangan mengenai hal ini. Pihak yang mendukung berpendapat bahwa perpanjangan masa jabatan dapat mengurangi kelelahan pemilih dengan memisahkan jadwal pemilu nasional dan daerah, meningkatkan efisiensi anggaran, serta memberi waktu yang cukup untuk regenerasi politik.
Sementara pihak yang menolak khawatir bahwa kebijakan ini justru memperkuat posisi petahana, menghambat munculnya calon baru, dan mengurangi kesempatan regenerasi politik. Selain itu, diperlukan kejelasan mengenai batas waktu perpanjangan masa jabatan agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum.
Terkait konstitusionalitasnya, perpanjangan masa jabatan tidak bertentangan dengan UUD 1945 selama diatur melalui undang-undang dan bersifat sementara. Oleh karena itu, revisi terhadap UU Pemilu dan UU Pilkada diperlukan agar masa transisi ini dapat diatur secara konstitusional, demokratis, dan akuntabel.
“Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 membuka jalan dan berpotensi menjadi solusi untuk menyederhanakan beban pemilih dan meningkatkan kualitas demokrasi lokal serta terwujudnya desentralisasi asimetris dalam kenyataan,” jelasnya.
Revisi UU No. 23 Tahun 2014 dan Wacana Pilkada oleh DPRD topik lain yang juga dibahas dalam rapat tersebut adalah revisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya terkait wacana pelaksanaan Pilkada melalui DPRD. Materi ini disampaikan oleh Kepala Departemen Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran, Prof. Drs. Rahman Mulyawan, M.Si. Menurutnya, secara umum UU tersebut sudah cukup baik. Namun dalam implementasinya, masih terdapat kecenderungan penguatan dekonsentrasi dibanding desentralisasi.
Hal ini terlihat dari kewenangan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat yang terlalu dominan, sehingga membatasi ruang gerak pemerintah Kabupaten/Kota maupun Provinsi itu sendiri.
“Intinya revisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 ini untuk menjadikan Provinsi, Kota atau Kabupaten untuk melaksanakan otonomi yang ideal,” katanya. Terkait mekanisme
Pilkada, ia menilai bahwa baik sistem pemilihan langsung oleh rakyat maupun melalui DPRD, keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
“Kalau memilih lebih lebih efektif mana Pilkada langsung oleh DPRD atau langsung dipilih masyarakat. Kalau melihat mana yang lebih baik, dua-duanya juga mempunyai kelemahan dan kekuatan,” ujarnya.