SNU//Kabupaten Garut – Malam itu, langit di atas Kampung Bareto, Desa Tambakbaya, Cisurupan, bukan hanya dihiasi gemintang. Cahaya lentera dan semangat para leluhur bersatu dalam tarikan napas bersama, Kirab Pusaka Garut, sebuah peristiwa sakral yang lebih dari sekadar tradisi—ia adalah ritual jiwa, napas sejarah yang masih hidup dalam dada orang-orang Garut.
Kirab ini diselenggarakan oleh Dewan Adat Kabupaten Garut di bawah kepemimpinan Bah Cepi, sebagai bagian dari peringatan Tahun Baru Islam 1 Muharam 1447 H / 1 Syuro 1947 Saka, Kamis malam (26/6/2025).

Namun maknanya jauh lebih dalam, ini adalah panggilan nurani untuk menata hati, menengok akar sejarah, dan merajut kembali silaturahmi yang mulai tergerus zaman.
Satu per satu pusaka dilintaskan. Tak ada gemuruh sorak, hanya denting doa dan langkah tertib—seolah setiap insan tengah menapaki kembali lorong-lorong peradaban.
Di barisan kirab tampak hadir Letkol Cpm Harmaji, SH (Dandempom Garut), Mayor dr. Citra (Kepala RS Guntur), unsur Forkopimcam, tokoh adat, pemuda, hingga warga dari berbagai penjuru.
Mereka tidak hanya hadir secara jasmani, tetapi menyatu dalam ruh kirab: sebuah penghormatan terhadap nilai-nilai luhur warisan leluhur.
Kirab ini bukan seremoni dadakan. Ia adalah hasil kontemplasi panjang: bahwa pusaka bukan sekadar benda mati, tapi simbol tanggung jawab, nilai, dan warisan kehidupan.
Kirab adalah cermin—di sanalah kita menatap diri sendiri, bertanya sejauh mana kita menjaga pusaka dalam wujud kejujuran, keberanian, persatuan, dan cinta tanah leluhur.
Dalam sambutannya, Bah Cepi menyampaikan bahwa Kirab Pusaka Garut adalah gema dari ajakan sunyi agar generasi hari ini tidak sekadar mengejar masa depan, tetapi juga mampu menoleh dan belajar dari jejak para leluhur.
“Galuh, Garut, dan segala yang sakral di antara keduanya bukan sekadar cerita, tapi simpul sejarah—hidup dalam pusaka, dalam tanah, dan dalam hati,” ucapnya penuh keyakinan.
Dalam wawancara dengan media, ia menegaskan,
“Kami meyakini bahwa Galuh itu awalnya berdiri di Garut. Baru kemudian berpindah ke Kawali. Keyakinan ini bukan didasarkan mitos, melainkan hasil kajian ilmiah dan data otentik yang telah kami telusuri bertahun-tahun.” ungkap Bah Cepi.
Dewan Adat Kabupaten Garut, yang lahir dari kesepahaman para tokoh adat dan sejarawan lokal, telah menjelma menjadi pusat edukasi sejarah dan budaya.
Lembaga ini tidak hanya menghidupkan kearifan lokal, tapi juga memperjuangkan validitas sejarah melalui kajian yang sistematis.
Bukti nyata dari upaya mereka adalah penerbitan buku “Garut Lain Kakarut”—sebuah karya yang merangkum riset mendalam tentang asal-usul Garut dan keterkaitannya dengan Galuh. Buku ini telah diseminarkan di kampus-kampus seperti Universitas Garut (UNIGA), dan diserahkan kepada Bupati Garut H. Abdusy Syakur Amin, Dinas Pendidikan, hingga unsur TNI seperti Korem, Dandim, dan Dandempom.
“Kami ingin sejarah ini menjadi bagian dari pendidikan—baik formal maupun informal. Karena nama adalah identitas, dan identitas harus bersandar pada kebenaran sejarah,” ujar Bah Cepi.
Menanggapi berbagai versi asal-usul nama “Garut”, seperti Lingga Ratu atau Garuda Utama, Bah Cepi menegaskan bahwa keragaman itu mencerminkan kecintaan masyarakat, namun kajian ilmiah tetap menjadi dasar utama.
“Berdasarkan kajian linguistik dan dokumen sejarah, nama Garut berasal dari Ki Garu, yang tercantum dalam kamus tiga bahasa lama. Nama ini sudah muncul sejak tahun 1792 sebagai ibu kota Pasanggrahan, bagian dari wilayah Sukapura.” ungkapnya.
Ia juga menjelaskan bahwa Sukapura dan Garut dahulu dipisahkan oleh batas-batas alami seperti Sungai Cimanuk atau Kalipaksi.
Kawasan ini sebelumnya termasuk wilayah Timbanganten, dan memiliki keterkaitan erat dengan Galuh dan Bandung—dua kerajaan besar di Tatar Sunda.
“Sukapura adalah bagian dari Galuh . Maka Garut punya peran sentral dalam sejarah Galuh,” lanjutnya.
Menurut Bah Cepi bahwa perjuangan yang tak Akan Usai, dalam menutup dengan pernyataan yang menggugah,
“Ini bukan tentang menang atau kalah dalam tafsir sejarah. Ini tentang memperjuangkan kebenaran yang bisa dipertanggungjawabkan, baik secara akademik maupun budaya.”
Ia mengajak seluruh elemen masyarakat, akademisi, dan pemerintah untuk bersama-sama menjaga dan memuliakan sejarah lokal.
“Sejarah adalah jati diri. Jangan sampai ia hilang dalam derasnya arus zaman.”pungkas Bah Cepi. (Asan)