BudayaHukumRagam Daerah

Pengamat Publik dan Hukum, Dr Herman Hofi Munawar Ingatkan, Terkait Polemik Arang Bakau Kubu Raya, Bahaya Salahkan Warga Secara Sepihak

547
Pengamat Publik dan Hukum, Dr Herman Hofi Munawar Ingatkan, Terkait Polemik Arang Bakau Kubu Raya, Bahaya Salahkan Warga Secara Sepihak

SNU//Kubu Raya, Kalimantan Barat — Terkait polemik seputar aktivitas pembuatan arang dari kayu bakau (mangrove) di Kecamatan Padang Tikar dan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, kembali mencuat dan memicu sorotan publik. 

Aktivitas tradisional yang telah berlangsung lebih dari setengah abad itu kini dikaitkan dengan kerusakan ekosistem mangrove di wilayah pesisir Kalimantan Barat.

Pengamat hukum dan kebijakan publik, Dr. Herman Hofi Munawar     menilai persoalan ini perlu disikapi secara arif, adil, dan berbasis realitas sosial masyarakat. 

Menurutnya, dapur arang bukan sekadar aktivitas ekonomi, tetapi telah menjadi warisan budaya yang mengakar kuat dalam struktur sosial warga.

Dapur arang ini sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat lokal selama lebih dari setengah abad. Ia bukan hanya aktivitas ekonomi, tetapi juga bagian dari identitas budaya masyarakat pesisir,” ujarnya dalam pernyataan tertulis, Jumat (25/7).

Arang bakau asal Kubu Raya dikenal memiliki kualitas tinggi dan telah menembus pasar internasional seperti Jepang dan Korea. Namun dalam beberapa waktu terakhir, masyarakat lokal justru dituding sebagai penyebab utama kerusakan mangrove, yang menurut data berbagai sumber telah mencapai 35 hingga 43 persen di kawasan tersebut.

Herman menyayangkan narasi yang menyudutkan masyarakat tanpa melihat konteks sosial dan sejarah panjang pemanfaatan sumber daya secara tradisional.

“Menyalahkan warga lokal tanpa memahami kompleksitas lapangan adalah pendekatan yang tidak adil. Padahal, kerusakan terbesar justru disumbang oleh korporasi besar yang mengubah kawasan mangrove menjadi perkebunan dan infrastruktur,” tegasnya.

Ia menyoroti skala eksploitasi yang dilakukan perusahaan besar, yang menurutnya jauh lebih merusak dibandingkan aktivitas masyarakat lokal yang bersifat subsisten.

Lebih lanjut, Herman mengingatkan pentingnya fungsi ekologis mangrove sebagai penyangga ekosistem pesisir, penyerap karbon, dan pelindung alami dari abrasi. Kerusakan total mangrove, katanya, akan berdampak langsung pada sektor pertanian, perikanan, hingga kelangsungan hidup masyarakat di pesisir.

Dalam pernyataannya, Herman juga menanggapi kritik Bupati Kubu Raya yang sempat menyinggung peran aparat penegak hukum dalam pengawasan lingkungan. Ia menilai pernyataan tersebut justru kontra-produktif.

Menuding aparat penegak hukum yang menjalankan tugas pelestarian lingkungan hanya akan melemahkan sinergi antarlembaga dan memperkeruh suasana,” katanya.

Herman mendorong agar Pemkab Kubu Raya bersama aparat hukum dan masyarakat segera duduk bersama untuk merumuskan kebijakan transisi yang adil.

“Solusi jangka panjang tidak boleh menghukum masyarakat miskin. Perlu pendekatan berbasis dialog, edukasi, dan pemberdayaan—bukan sekadar razia dan larangan sepihak,” tambahnya.

Ia mengusulkan penerapan sistem tebang-pilih, pemulihan hutan mangrove berbasis partisipasi warga, serta diversifikasi ekonomi lokal sebagai jalan tengah antara pelestarian dan keberlangsungan hidup masyarakat.

“Lingkungan dan kesejahteraan tidak harus dipertentangkan. Keduanya bisa berjalan bersama jika ada kemauan dan itikad baik dari semua pihak,” pungkasnya. (Jono)

Exit mobile version