SNU|Pontianak – Sebuah pesan WhatsApp yang beredar di kalangan legislatif dan birokrat, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, memicu kehebohan.
Pesan tersebut berasal dari admin internal Bappeda Provinsi Kalbar yang menyampaikan bahwa usulan kegiatan dari anggota DPRD Kalbar yang baru dilantik belum dapat diproses dalam perubahan APBD. Alasannya, belum ada pembagian data dari dewan lama. Kamis (5/6/2025).
Pesan itu, yang sudah dikonfirmasi oleh beberapa staf legislatif dan eksekutif, berbunyi:
Izin menginformasikan untuk anggota dewan yang baru naik/menggantikan dewan yang lama, bahwa usulan belum dapat diproses pada perubahan, dikarenakan masih terkendala terkait data yang akan dibagi antara dewan lama dan dewan yang baru.
“Mohon jika sudah ada pembagian agar dikirim softcopy-nya kepada saya atau Heru Suyutdi,”
Kalimat tersebut menunjukkan bahwa usulan program pembangunan diberlakukan layaknya “milik pribadi” anggota dewan, bukan sebagai hasil sistem perencanaan lembaga DPRD.
Praktik ini bertentangan dengan azas netralitas birokrasi dan membuka celah politisasi usulan pembangunan.
Sejumlah ahli menilai, praktik “bagi data” ini berpotensi melanggar: Permendagri No. 86 Tahun 2017 Pasal 80, yang menegaskan bahwa usulan pembangunan adalah hasil musrenbang dan sistem teknokratik, bukan personal.
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menempatkan pembangunan sebagai kebutuhan masyarakat, bukan hak prerogatif individu.
Kajian KPK RI yang menyebut personalisasi usulan sebagai bentuk penyimpangan birokrasi.
UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang menjamin akuntabilitas penganggaran publik.
Anto, pengamat administrasi publik dari Universitas di Kalbar, menilai bahwa praktik ini adalah bentuk pemiskinan fungsi DPRD.
“Kalau usulan program hanya bisa diproses kalau ada ‘izin’ dewan lama, ini sudah jelas feodalisme birokrasi. Bappeda tidak boleh ikut main.” ungkap Anto
Begitupula yang disampaikan oleh Arief, selaku aktivis anti-korupsi Kalbar, bahkan menyebutkan bahwa ini membuka ruang jual-beli usulan.
“Kalau data usulan ini diperlakukan seperti warisan politik, maka pasti akan jadi komoditas. Bukan lagi administrasi, tapi transaksi kepentingan.” ucap Arief.
Hingga berita ini diturunkan, Sekretariat DPRD Provinsi Kalbar belum memberi klarifikasi. Sejumlah anggota DPRD baru yang dihubungi mengakui kebingungan. “Tidak pernah ada serah-terima data secara formal,” ujar seorang anggota DPRD yang enggan disebut namanya.
Sumber internal Bappeda Kalbar, yang meminta identitasnya dirahasiakan, membenarkan bahwa “pembagian data” ini kerap disebut sebagai prosedur kebiasaan.
1. Gubernur dan Wakil Gubernur Kalbar turun tangan mengevaluasi Bappeda dan mengembalikan netralitas birokrasi.
2. Ketua DPRD Kalbar menyatakan terbuka bahwa pokok-pokok pikiran DPRD adalah produk kelembagaan, bukan milik personal.
3. KPK dan Kemendagri segera melakukan audit mendalam terhadap sistem perencanaan dan perubahan anggaran di Kalbar.
Program publik, tegas para pengamat, bukan milik perseorangan. Jika praktik informal ini terus dibiarkan, pembangunan di Kalbar akan menjadi panggung transaksi elite, bukan pelayanan publik. (Jono)