HukumKriminal

Miris,!! Seorang Wartawan Bodrex Peras 3 Kepala Desa, Akhirnya Diringkus Polisi

416
FNE saat diringkus Tim Opsnal Polres Kerinci di Pasar Beringin, Kota Sungai Penuh, Jambi, pada Jumat sore. [Sihumas Polres Kerinci]

SNU|Jambi – Seorang Wartawan “Bodrex” berinisial FNE diringkus polisi usai dilaporkan peras tiga kepala desa (Kades).

FNE ditangkap Tim Opsnal Satreskrim Polres Kerinci di bilangan Pasar Beringin, Kota Sungai Penuh, Jambi, pada Jum’at (30/5/2025) jam 17.25 WIB. Yang baru lalu.

FNE adalah warga Koto Padang, Kecamatan Tanah Kampung, Kota Sungai Penuh itu, kini sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Mapolres Kerinci.

“Kita amankan satu orang, dugaan aksi premanisme berkedok wartawan. Tersangka memeras tiga orang kepala desa,” ungkap Kapolres Kerinci, AKBP Arya T Brachmana dalam keterangan diterima Kompolmas Jambi, Senin (2/6) siang.

Tiga orang mengaku diperas pelaku, kata dia, adalah Kades Lawang Agung, Pelayang Raya, dan Permanti.

Kepada para korban, FNE mengaku bekerja sebagai wartawan dua media online, yakni EI dan DS.

Dia meminta uang Rp 5 juta agar temuannya tentang penyelewengan dana desa tahun 2022-2023 tidak dipublikasikan.

Dalam proses negosiasi, ketiga Kades hanya sanggup memberikan Rp 3 juta kepada FNE.

Uang itu diterima, tapi FNE tetap mengancam akan memberitakan “kasus” yang dituduhkan sepihak itu kalau kekurangan setoran tidak segera dibayar.

Merasa tertekan, tiga Kades sepakat melaporkan FNE kepada polisi, disertai bukti video penyerahan uang Rp 3 juta di rumah salah satu Kades.

Satreskrim Polres Kerinci bereaksi cepat, langsung menangkap FNE usai melakukan serangkaian penyelidikan.

Kapolres merinci, dari tangan pelaku pihaknya menyita beberapa barang bukti berupa uang tunai Rp1 juta, sepeda motor Honda Vario, handphone merk Realmi, serta dompet milik FNE.

“Pelaku dan barang bukti sudah diamankan Satreskrim Polres Kerinci untuk proses hukum lebih lanjut,” pungkasnya.

Informasi dihimpun Kompolmas Jambi, FNE diduga tidak beraksi sendirian. Namun sejumlah sumber enggan menyebutkan identitasnya.

Banyak pihak, termasuk kalangan pers, di Kabupaten Kerinci dan sekitarnya berharap aparat penegak hukum sigap menindak tegas para wartawan bodrex yang meresahkan sekaligus telah mencoreng reputasi pers di daerah itu.

Asal-usul Istilah Wartawan Bodrex

Istilah Wartawan Bodrex makin jarang digunakan publik, termasuk masyarakat pers sendiri, setidaknya kurun dua dekade terakhir.

Sehingga tidak jarang sebagian insan pers, khususnya kalangan berjam terbang di bawah dua dekade, kurang mafhum atau bahkan tersinggung ketika ada pihak menggunakan istilah demikian.

Benar, Bodrex adalah merk obat produksi unggulan PT Tempo Scan Pacifik Tbk, yang mulai dipasarkan di Indonesia pada tahun 1971.

Berjuluk obat bagi 1001 macam penyakit dan sebagian meyakini bisa menjadi dopping antikantuk, kemunculan Bodrex di era itu mampu mengimbangi dominasi Paramex, merk pendahulu besutan PT Konimex dan sudah dipasarkan sejak 8 Juni 1967.

Sementara itu, beberapa wartawan senior mengisahkan, tidak sedikit narasumber berita di era 1980-an mengeluhkan ulah segelintir oknum pekerja pers menyimpang dari koridor profesi.

Ulah itu diduga memicu narasumber “bermasalah” menjadi puyeng, panik, paranoid, depresi, meriang, asam lambung meningkat, atau bahkan sakit gigi.

Sehingga, Paramex saja belum tentu mempan. Mereka butuh Bodrex, meski kala itu baru tersedia satu varian umum, karena varian Migra dan Extra belum dipasarkan.

Belum diketahui siapa pencetus awal hingga akhirnya segelintir oknum menyimpang yang kehadirannya bisa bikin narasumber demam mendadak itu disebut “Wartawan —yang perlu dihadapi dengan— Bodrex”.

“Jadi itu semacam anekdot yang diam-diam berkembang menjadi istilah populer di masanya. Seingat saya, wartawan-wartawan lurus waktu itu tidak begitu mempermasalahkan (penggunaan istilah-red) karena sejatinya Wartawan Bodrex bukanlah wartawan,” ungkap seorang mantan jurnalis nasional di Denpasar, Bali, Senin (2/6) siang.

Dosen sebuah perguruan tinggi ini menekankan, istilah boleh saja berbeda dari masa ke masa. Tapi realitanya memang ada oknum yang berbuat demikian sejak dulu hingga kini, dan harus diberantas demi martabat profesi pers.

“Awalnya mungkin karena tidak tahu batasan kebebasan pers yang dijamin undang-undang, jadi harus diluruskan bersama. Tanggung jawab moral ini melekat di diri setiap insan pers, dimulai dari diri sendiri kemudian kepada lingkungan seprofesi agar masyarakat pers kita menjadi lebih baik dan berwibawa tinggi,” pungkasnya. (Jono)

Exit mobile version